JAKARTA, iNews.id, - Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mendorong aparat kepolisian mengusut tuntas secara hukum kasus kekerasan terhadap jurnalis saat meliput aksi unjuk rasa di depan kantor Bawaslu dan sekitarnya pada 22 Mei 2019. Kasus kekerasan ini telah menjadi sorotan banyak pihak dalam beberapa pekan terakhir.
Dari hasil pendataan IJTI tercatat enam jurnalis televisi menjadi korban kekerasan saat meliput unjuk rasa yang berujung kericuhan tersebut. Kasus kekerasan itu terjadi di beberapa titik di Jakarta, yaitu di kawasan Thamrin, Petamburan, Tanah Abang dan Slipi Jaya. Oknum aparat dan massa aksi diduga menjadi pelaku kekerasan tersebut.
Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana mengatakan, kekerasan yang dialami jurnalis berupa pemukulan, penamparan, intimidasi, persekusi, ancaman, hingga perampasan alat kerja jurnalistik.
”Selain itu, penghalangan liputan, penghapusan video dan foto hasil liputan, pelemparan batu, hingga perusakan mobil dan penjarahan alat kerja jurnalistik,” kata Yadi melalui keterangan tertulis, Sabtu (1/6/2019).
BACA JUGA: Kerusuhan 22 Mei Diduga Telah Direncanakan
Data IJTI, enam jurnalis televisi yang mengalami kekerasan saat meliput aksi massa 22 Mei lalu yakni jurnalis iNews TV Fatahilah Sinuraya yang mengalami luka-luka di bagian kepala, punggung, dahi, tangan dan paha kanan.
Peristiwa penganiayaan ini terjadi saat Fatahilah tengah beristirahat di mobil SNG pascamengambil gambar kerusuhan massa aksi di sekitar Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Massa melempari aparat kepolisian saat kerusuhan Aksi 22 Mei di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, 22 Mei 2019. (Foto: Antara).
Fatahilah Sinuraya menjadi sasaran pemukulan oleh oknum aparat karena dianggap sebagai salah satu teman dari pengunjuk rasa yang ditangkap aparat. Kendati sudah menunjukan identitasnya sebagai jurnalis oknum aparat tetap memukuli korban.
Selain mengalami luka fisik korban juga mengalami kerugian materiil berupa kehilangan smartphone dan jam tangan G-shock Frogman.
Video Jurnallis (VJ) MNCTV Rian mengalami kerugian materiil setelah mobil liputan yang ditumpangi dihadang dan dijarah massa. Selain mobil liputannya rusak, sejumlah alat liputan seperti kamera panasonic dan alat pendukung lainnya juga hilang dijarah massa.
BACA JUGA: Jurnalis Jadi Korban Kekerasan Aksi 22 Mei, Ini 7 Poin Sikap IJTI
Peristiwa ini terjadi di sekitar jalan Tanah Abang, Jakarta. Saat itu mobil liputan yang akan mencari tempat parkir tiba-tiba dihadang dan diteriaki oleh massa aksi. Kemudian massa yang makin tidak terkendali merusak mobil serta menjarah peralatan liputan di dalam mobil.
Reporter Intan Bedissa dan camera person RTV Rahajeng Mutiara dipersekusi oleh massa aksi saat melakukan Live On Tape (LOT) di sekitar Jatibaru, Tanah Abang. Saat itu belasan massa yang awalnya hanya menonton di pinggir jalan merengsek masuk dan melakukan persekusi serta intimidasi terhadap dua jurnalis yang tengah bertugas ini.
Intan dan Rahajeng tidak mengalami luka karena berhasil diselamatkan oleh petugas TNI yang tengah ikut berjaga di sekitar lokasi.
Kontributor CNN Indonesia TV Budi mengalami kekerasan fisik, perampasan alat kerja dan penghalangan liputan oleh oknum aparat.
Seorang jurnalis dari ABC News TV juga mengalami persekusi serta intimidasi dari massa saat melakukan peliputan kerusuhan dalam aksi pada 22 Mei lalu.
Dari ke enam jurnalis yang menjadi korban kekerasan maupun persekusi serta penjarahan, tiga di antaranya telah melaporkan kasus ini ke aparat kepolisian. Jurnalis iNews Fatahilah melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya pada Jumat (24/5/2019).
Video Jurnalis MNCTV Rian melaporkan kasus perusakan dan penjarahan mobil serta perlengkapan liputan oleh massa ke Polres Jakarta Pusat pada Rabu (22/5/2019). Kemudian Budi yang melaporkan kasus penganiayaan dirinya ke Propam Mabes Polri pada Sabtu (25/5/2019).
IJTI menegaskan, aksi kekerasan maupun persekusi yang menimpa para jurnalis televisi saat melakukan peliputan unjuk rasa 22 Mei tentu tidak dibenarkan. Kerja jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Setiap orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara maksimal dua tahun, dan denda maksimal Rp500 juta.
Selain itu kemerdekaan pers tanpa perlindungan pers merupakan sesuatu yang mustahil diwujudkan. Karena pada hakekatnya kemerdekaan pers dan perlindungan pers merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
”IJTI akan terus mendampingi korban serta mendorong kasus ini diselesaikan secara hukum hingga tuntas. Hal ini penting dilakukan agar kasus kekerasan dan persekusi kepada jurnalis bisa diminimalkan,” kata Yadi.
Terkait hal ini IJTI menyampaikan pernyataan sebagai berikut:
1. Meminta dan mendorong aparat kepolisian segera menindaklanjuti laporan para jurnalis yang menjadi korban kekerasan serta persekusi saat melakukan peliputan aksi 22 Mei
2. Segera memproses dan memeriksa para pelaku kekerasan oleh oknum aparat serta persekusi dan penjarahan oleh peserta aksi massa.
3. Mendorong kasus kekerasan, persekusi terhadap jurnalis yang tengah bertugas diselesaikan melalui jalur hukum dengan memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku sehingga bisa menjadi efek jera bagi pelaku sekaligus peringatan bagi masyarakat luas bahwa kerja jurnalis dilindungi oleh UU.
4. Mengimbau kepada perusahaan media yang jurnalisnya menjadi korban untuk melakukan pendampingan dan melaporkan kasus kekerasan, persekusi kepada aparat kepolisian.
5. Mengimbau kepada perusahaan pers untuk menyediakan perlindungan dan perlengkapan keselamatan bagi jurnalis yang ditugaskan ke lokasi liputan yang berbahaya.
6. Meminta kepada seluruh jurnalis Indonesia untuk tetap bekerja secara profesional, berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik serta mengedepankan kepentingan masyarakat banyak di atas kepentingan yang lain.
Editor : Zen Teguh
http://bit.ly/2WaJxu8
June 01, 2019 at 04:30PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "IJTI Dorong Kasus Kekerasan Jurnalis Diselesaikan Secara Hukum"
Post a Comment