
JAKARTA, iNews.id - Perkembangan teknologi tak selamanya memberi faedah bagi pelaku bisnis di Indonesia. Jika pemimpin perusahaan tidak berinovasi melihat kebutuhan pelanggan dan membaca geliat kompetitor dalam berbisnis, maka siap-siap saja tersingkir dari persaingan.
Masih lekat di ingatan, bagaimana kehadiran layanan ojek dan taksi online beberapa tahun lalu sempat membuat pendapatan dan laba perusahaan taksi konvensional menciut. Aksi demo ratusan sopir perusahaan taksi yang menolak kehadiran taksi online, jadi pemandangan lumrah yang bisa kita saksikan sehari-hari.
Maklum, jika perusahaan taksi tempatnya bekerja tidak bisa lagi menghasilkan laba, maka hubungan simbiosis mutualisme mereka dengan pemilik perusahaan bisa berakhir kapan saja.
Meskipun pada akhirnya pemerintah bisa melakukan mediasi dan menerbitkan aturan tarif taksi online sebagai hasil kompromi bersama, namun terlambat. Beberapa perusahaan taksi konvensional sudah terlanjur sekarat.
Hal ini bisa dilihat dari berkurangnya jumlah taksi Express maupun Gamya yang berseliweran di jalan raya. Hanya taksi Blue Bird yang masih bertahan di tengah himpitan layanan GoCar dan GrabCar, dua perusahaan transportasi online yang kapitalisasi pasarnya semakin membesar.
Ada Apa dengan PT Pos Indonesia?
Nah, perkembangan teknologi tampaknya juga tidak dinikmati oleh PT Pos Indonesia (Persero), perusahaan pelat merah yang juga sesepuh bisnis jasa logistik nasional. Jika perusahaan logistik lain sebut saja PT Citra Van Titipan Kilat (Tiki), PT Jalur Nugraha Ekakurir (JNE), dan PT Global Jet Express (JNT) mendapat banyak berkah dari menjamurnya jual beli online, marketplace maupun e-commerce, namun tidak demikian halnya dengan PT Pos.
Presiden Direktur JNE, Muhammad Feriadi, sebelumnya pernah mengatakan bahwa saat ini telah terjadi pergeseran pola belanja masyarakat dari offline ke online karena lebih mudah dan efisien.
“Orang dulu membeli kebutuhan di supermaket, mal, atau pasar. Sekarang lebih suka belanja online, kenapa? Karena online ini menawarkan harga yang relatif lebih murah dan efisien,” kata Feriadi dilansir dari laman CekAja.com.
Kondisi tersebut membawa berkah bagi JNE. Feriadi menyebut tingginya transaksi jual beli online membuat perusahaan logistik yang dipimpinnya tumbuh 30 persen setiap tahun.
“Revenue JNE itu 70 persen dari ritel dan 30 persen korporat. Nah, setengah dari 70 persen pendapatan ritel itu disumbang dari e-commerce atau bisnis online,” jelasnya.
Namun, kelezatan kue bisnis jual beli online sepertinya tidak dinikmati oleh PT Pos karena faktor eksternal (aturan regulator) maupun internal (pilihan bisnis manajemen).
Sebagai perusahaan logistik tertua yang memiliki jaringan distribusi sampai ke pelosok tanah air, stigma di masyarakat bahwa mengirim barang lewat pos membutuhkan waktu yang lama dibandingkan jasa pengiriman lainnya tampaknya belum bisa hilang.
Padahal PT Pos sudah berupaya meningkatkan layanan dengan berbagai cara. Misalnya membuka jam operasional lebih lama dari sebelumnya, sampai membuka peluang kerja sama dengan mitra demi memperbanyak jaringan layanannya di tengah masyarakat.
Peningkatan layanan yang sejalan dengan penyesuaian tarif pos sejak pertengahan 2018 lalu.
Direktur Utama Pos Indonesia, Gilarsi W. Setijono, ketika menyambangi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 26 November 2018 lalu mengaku kesulitan mencapai target laba tahun berjalan sebesar Rp 400 miliar yang ditetapkan pemerintah.
Ia memperkirakan sampai akhir tahun lalu realisasi laba bersih perusahaan yang dipimpinnya hanya mencapai Rp 100 miliar atau 25 persen saja.
Editor : Rahmat Fiansyah
http://bit.ly/2TGeMwF
February 10, 2019 at 05:06PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Nasib PT Pos Indonesia yang Tergerus Kemajuan Teknologi"
Post a Comment