
BANDAR SERI BEGAWAN, iNews.id - Pemerintah Brunei Darussalam tampaknya menunda pelaksanaan penerapan undang-undang baru yang memberlakukan hukuman mati bagi kaum homoseksual atau LGBT.
Pada April lalu, negara kecil di Asia Tenggara tersebut meluncurkan fase terakhir dari Perintah Hukum Pidana Syariah (SPCO) yang kontroversial -sebuah interpretasi ketat soal hukum Islam atau syariah- dengan mengganjar pelaku sodomi, perzinahan, dan pemerkosaan dengan hukuman mati dalam bentuk rajam.
Namun setelah kampanye yang digencarkan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia serta pemerintah negara Barat dan sejumlah selebriti dunia, Sultan Brunei Hassanal Bolkiah, yang juga Perdana Menteri negara itu, secara mengejutkan mengumumkan pada Minggu (5/5) bahwa pemerintahannya akan memperpanjang moratorium hukuman mati menjadi pelanggaran berdasarkan undang-undang hukum pidana baru.
"Saya menyadari bahwa ada banyak pertanyaan dan kesalahan persepsi terkait dengan implementasi SPCO. Namun, kami percaya bahwa setelah ini diselesaikan, manfaat hukum akan jelas," katanya, dalam pidato untuk menandai dimulainya bulan suci Ramadan, seperti dilaporkan ABC News, Kamis (9/5/2019).
"Sebagai bukti selama lebih dari dua dekade, kami sudah mempraktekkan moratorium de facto atas eksekusi hukuman mati untuk kasus-kasus berdasarkan hukum biasa. Ini juga akan diterapkan pada kasus-kasus di bawah SPCO yang memberikan ruang lingkup yang lebih luas untuk pengurangan."
Kenati mempertahankan hukuman mati dalam aturan hukum, Brunei tidak melakukan eksekusi selama beberapa dekade.
Di saat undang-undang anti-LGBTyang keras tetap ada, para pengamat pun berupaya membongkar apa yang mendorong klarifikasi yang tiba-tiba itu. Berikut beberapa kemungkinannya.
Brunei bertindak sebelum peninjauan PBB
Pengumuman Sultan muncul sebelum Brunei tampil di hadapan Peninjauan Umum Periodik Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Jumat (10/5) ini, di mana negara-negara anggota memeriksa catatan hak asasi manusia suatu negara selama empat tahun terakhir.
Empat hari setelah SPCO diperkenalkan, Menteri Luar Negeri Brunei Erywan Pehin Yusof menulis surat ke Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) untuk membela kebijakan tersebut. Dia mengklaim hukum pidana syariah "lebih fokus pada pencegahan daripada hukuman".
"Tujuannya adalah untuk mendidik, mencegah, merehabilitasi, dan memelihara daripada menghukum," demikian bunyi surat Yusof.
"Hukum ini berusaha untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara melindungi hak-hak orang yang dituduh dan hak-hak para korban dan keluarga mereka."
Sejumlah negara mengajukan keprihatinan dan protes kepada Brunei atas penerapan hukum pidana, yang juga dikecam oleh Komisioner HAM PBB Michelle Bachelet dengan menyebutnya sebagai hal yang kejam.
Brunei, yang hingga kini membela undang-undang baru itu, kemungkinan akan menghadapi teguran pada tinjauan PBB Jumat besok.
"Sultan sepertinya terlihat mengatakan 'kami sudah berubah pikiran tentang ini, kami sekarang tidak akan menerapkan hukuman mati'," kata Direktur Pusat Castan untuk Hukum Hak Asasi Manusia, Paula Gerber.
"Tapi kita seharusnya tidak bertepuk tangan dan bersorak, karena dia belum mencabut hukuman itu," katanya kepada ABC.
"Masih merupakan kejahatan untuk menjadi gay di Brunei, masih merupakan kejahatan untuk melakukan perzinahan, untuk melakukan aborsi."
Adakah kekuatan selebritas atau kepentingan ekonomi?
Selebritas terkemuka termasuk George Clooney, Elton John, dan Ellen DeGeneres memimpin boikot terhadap sebuah grup hotel mewah yang dimiliki oleh Brunei Investment Company, termasuk Beverly Hills Hotel California dan The Dorchester di London.
"Suara kami lebih keras dari yang anda kira," cuit DeGeneres, setelah pengumuman Sultan pada Minggu (5/5).
"Mari jaga agar tetap nyaring".
Boikot serupa dijalankan pada 2014, ketika Brunei pertama kali mengumumkan peluncuran undang-undang tersebut.
Namun, di saat para selebriti dunia memuji keberhasilan tekanan ini, pada akhirnya ada kekhawatiran soal investasi asing yang mendorong langkah Brunei.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Brunei berupaya mendiversifikasi ekonominya yang bergantung pada minyak dan menarik investasi asing yang lebih besar dalam upaya memperkuat ekonomi di masa depan jika minyak habis.
Namun demikian, menurut Economist Intelligence Unit, upaya-upaya ini hanya akan memicu keberhasilan sementara; dan sektor energi akan terus mendominasi ekonomi. Prediksi PDB riil Brunei akan tumbuh hanya 1,4 persen pada 2019-2020.
Brunei juga berusaha meningkatkan pariwisata di tengah isu hukuman mati LGBT.
Aturan anti-lgbt akan tetap berlaku
Meski hukuman mati tidak diterapkan, pria yang berhubungan seks dengan pria lain masih bisa dihukum hingga 100 cambukan atau hukuman penjara yang lama di Brunei.
Sementara itu, lesbian terancam pencambukan hingga 40 kali dan dipenjara selama 10 tahun.
Hukuman serupa tetap berlaku untuk perzinahan dan pemerkosaan, sementara perempuan juga bisa dibui karena melahirkan saat belum menikah, atau melakukan aborsi.
Menurut Amnesty International, eksekusi terakhir yang dilakukan di Brunei adalah pada 1957. Namun satu orang dijatuhi hukuman mati pada 2017 karena pelanggaran narkoba.
Editor : Nathania Riris Michico
http://bit.ly/2PTFeBH
May 09, 2019 at 06:28PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kenapa Brunei Tak Jadi Terapkan Hukuman Mati bagi Kaum LGBT?"
Post a Comment