.jpg)
JAKARTA, iNews.id, - Sengkarut sistem zonasi memunculkan keinginan sejumlah kalangan agar model rayonisasi kembali diterapkan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Terutama bagi orangtua calon siswa, mereka berharap ada kesempatan lebih besar dalam mendapatkan sekolah negeri yang diinginkan.
Namun, Kemendikbud menegaskan tidak akan mengubah. Sistem zonasi dinilai paling tepat untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional terutama memeratakan pendidikan, mengikis ketimpangan kualitas sekolah, dan memberikan keadilan bagi calon siswa.
Penegasan itu disampaikan Mendikbud Muhadjir Effendy dalam wawancara khusus dengan iNews.id, Sabtu (22/6/2019). Berikut pemaparannya:
Dengan mengacu kondisi saat ini, apakah zonasi masih akan diberlakukan tahun depan atau kombinasi dengan rayonisasi?
Saya kira tidak ada itu istilah kombinasi atau tidak kombinasi. Sebetulnya masih ada ruangan yang cukup untuk penyesuaian dari waktu ke waktu. Tetapi kalau saya pribadi sebagai Mendikbud rasanya tidak ada keinginan kita untuk ubah strategi yang kita tata ini karena sudah tiga tahun dan banyak sekali manfaat yang sudah bisa kita peroleh dari pendekatan ini. Tinggal bagaimana disempurnakan dari waktu ke waktu.
Jadi apa sebenarnya tujuan sistem ini dan apakah kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan? Benarkah untuk menyamaratakan kualitas pendidikan?
Sebetulnya di dalam UU Sisdiknas itu ada amanah yang harus dipenuhi yaitu negara perlu membangun apa yang dimaksud dengan ekosistem pendidikan. Ekosistem pendidikan itu melibatkan tiga pihak yang saling terkait, memperkuat, dan melengkapi.
Tiga pihak itu pertama, keluarga atau orangtua. Kedua, sekolah atau guru dan ketiga masyarakat, tentu saja di situ para tokoh masyarakat dan pegiat pendidikan di masyarakat. Ini harus bersinergi bersama membangun sebuah ekosistem pendidikan. Supaya ekosistem ini jalan dengan baik maka siswanya juga harus yang berada di dalam ekosistem itu.
Karena jika siswanya berada di luar ekosistem, nanti kondisinya tidak menguntungkan. Dan itulah langkah pertama yang saya lakukan ketika ditunjuk sebagai Mendikbud. Itu yang saya buat pertama dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yaitu suatu payung hukum yang menjalin hubungan kerja sama antara keluarga, masyarakat dan sekolah ini.
BACA JUGA: Ratusan Wali Murid Geruduk Dispendik Surabaya Protes Sistem Zonasi
Termasuk bagaimana mereka bahu membahu dan bergotong royong untuk membangun pendidikan khususnya berbasis sekolah itu dengan menghidupkan kembali manajemen berbasis sekolah.
Itulah tujuan pertama kita ingin membangun ekosistem yang baik dengan pendekatan zonasi ini. Kemudian yang kedua, sebetulnya zoning system ini termasuk bentuk penyempurnaan atau katakanlah koreksi terhadap sistem lama yang setelah kita lihat dalam waktu yang cukup lama ini telah terjadi penyimpangan atau ketidak sesuaian dari sebuah kebijakan, yaitu adanya kastanisasi sekolah.
Ini yang berkali disampaikan oleh Wapres JK (Jusuf Kalla), beliau merisaukan tentang adanya kastanisasi sekolah. Ada sekolah negeri yang isinya itu anak-anak dari keluarga berada yang secara akademik sangat tinggi, tetapi satu sisi ada yang sangat paradoks yaitu ada sekolah tempat berkumpulnya anak dari keluarga miskin, karena gizinya rendah maka kualitas kepandaiannya menjadi rendah.
Dan ini sebetulnya akibat dari sistem ketika penerimaan peserta didik baru dengan menggunakan kriteria akademik murni sehingga terjadi pengelompokan dengan passing grade tertentu. Maka ada sekolah yang hanya menerima kumpulan anak pandai dan tanda petik itu biasanya dari kelarga berada.
Kemudian jika nanti gagal di sekolah itu turun ke sekolah yang juga menawarkan passing grade lebih rendah kemudian jika gagal lagi ke sekolah yang passing grade-nya lebih rendah lagi yang akhirnya itu ada sekolah yang tidak ada passing grade-nya dan inilah kumpulan anak-anak tidak mampu dan miskin.
Dan ini bertentangan dengan prinsip pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab negara. Karena prinsip pelayanan publik itu adalah tidak boleh ada hak-hak ekslusif kepada kalangan tertentu, tidak boleh ada persaingan berlebihan di dalam memanfaatkan barang publik dan tidak boleh ada diskriminasi. Jadi harus inklusif. Bisa melayani semua.
Praktik kastanisasi inilah yang akan kita ubah dan berantas di dalam sistem zonasi ini. Oleh karena itu kenapa kita lakukan jalur radius (jarak tempat tinggal dengan sekolah). Kemudian jalur prestasi, tetap diberi terutama dari luar. Kalau prestasi ini sebetulnya di dalam zona sudah otomatis.
BACA JUGA: Pengamat: PPDB Dorong Sekolah Maju dan Berkembang Bersama
Ini seperti dilakukan Jabar, dirangking. Klau memang sekolah negerinya daya tampungnya terbatas sehingga nanti yang diluar rangking didorong ke swasta tapi negara juga harus bertanggung jawab membina sekolah swasta dimana anak itu berada.
Kemudian masih ada peluang keluarga yang dari luar zona yang ingin masuk anaknya melalui jalur prestasi. Yang kemarin 5 persen kuotanya tetapi atas saran bapak Presiden kemudian supaya diperlonggar kita ubah intervalnya dari 5-15 persen. Kemudian juga mereka yang baru pindah dari tempat lain kita akomodasi 5 persen.
Jadi sebetulnya ini merupakan perpaduan tidak zonasi murni seperti di negara yang sudah maju seperti yang saya sebut tadi.
Jakarta akan segera melakukan PPDB lanjutan untuk jenjang lain. Seperti apa yang harus dilakukan agar Jakarta tidak terjadi fenomena di daerah lain?
Sebenarnya yang muncul kan satu daerah saja. Yang saya tahu di Jatim dan Jatim hanya di 1-2 kota. Secara umum semua sudah berjalan baik. Pertemuan terakhir saya undang kepala dinas provinsi seluruh Indonesia semua kelihatannya tidak ada kendala.
Termasuk DKI memang saya minta ada perubahan sistem karena yang diterapkan agak menyimpang dari sistem zonasi di peraturan menteri. Nanti akan kita lihat.
Tetapi prinsip sebetulnya saya harap tidak ada masalah. Apalagi DKI dekat dengan Kemendikbud sehingga ada dialog jika terjadi masalah.
Editor : Zen Teguh
http://bit.ly/2ZI45w1
June 23, 2019 at 06:00PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Sistem Zonasi untuk Berantas Praktik Kastanisasi Pendidikan"
Post a Comment