KHARTOUM, iNews.id - Pemerintah Sudan menyatakan jumlah korban bentrokan antara aparat keamanan dan demonstran prodemokrasi di ibu kota Khartoum dalam tiga hari terakhir meningkat menjadi setidaknya 61 orang.
Namun para dokter yang berpihak ke gerakan protes kelompok oposisi mengklaim lebih dari 100 orang tewas ditembak aparat keamanan. Mereka mengatakan 40 jenazah ditemukan di Sungai Nil di Khartoum pada Selasa (5/6) lalu.
Krisis di Sudan ini mendorong Kedutaan Besar Indonesia di Khartoum menyiapkan dua safe house atau tempat perlindungan bagi warga Indonesia yang memerlukan, kata Duta Besar Rossalis Rusman Adenan.
Merespons situasi keamanan, Rossalis mengatakan sejak 15 April lalu KBRI sudah menetapkan status siaga untuk seluruh masyarakat Indonesia yang ada di Sudan.
"Kami telah menyiapkan dua safe house (tempat perlindungan), masing-masing di Wisma Duta dan di kantor KBRI Khartoum. Di Wisma Duta dan di kantor KBRI kami menyediakan persediaan bahan-bahan pokok untuk sekitar 100 orang untuk masa sepekan," kata Rossalis, kepada BBC.
Menurut Rossalis, jumlah warga Indonesia di Sudan sekitar 1.300 orang, sebagian besar adalah mahasiswa di Khartoum. Jumlah mahasiswa Indonesia sekitar 1.100 hingga 1.150 yang belajar di sejumlah perguruan tinggi di Khartoum, terutama di Universitas Internasional Afrika dan Universitas Omdurman.
Ada juga yang belajar di Univeristas Khartoum, Universitas Sudan, dan di perguruan tinggi Alquran.
"Pekerja imigran Indonesia di Khartoum sekitar 200 orang. Ada juga Mahasiswa di kota Madani dan personel TNI/Polri yang menjadi pasukan penjaga perdamaian PBB di Darfur dan di Abyei," katanya.
Personel di Darfur di bawah koordinasi United Nations African Union Hybrid Mission in Darfur (UNAMID) sementara yang di Abyei, wilayah sengketa antara Sudan dan Sudan Selatan, di bawah koordinasi United Nations Interim Security Force in Abyei (UNISFA).
Komunikasi antara KBRI dan warga Indonesia dilakukan melalui organisasi-organisasi yang mewadahi WNI.
Selain itu, KBRI memperkuat tim perlindungan WNI yang beranggotakan staf KBRI dan perwakilan masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa.
"Koordinatornya dipilih berdasarkan wilayah konsentrasi di mana sebagian besar warga Indonesia bermukim, misalnya di sekitar Universitas Internasional Afrika. Banyak mahasiswa Indonesia yang tinggal di daerah ini," kata Rossalis.
Sejauh ini tidak ada laporan tentang warga Indonesia yang menjadi korban atau terkena dampak langsung dari krisis politik di Sudan. Rossalis mengatakan pihaknya secara terus-menerus memantau situasi dan mengeluarkan imbauan ke warga Indonesia.
"Kami meminta agar tetap tenang tapi juga meningkatkan kewaspadaan," katanya.
Krisis berawal ketika pada akhir Desember 2018, Presiden Omar Al Bashir menerapkan kebijakan darurat yang ditujukan untuk mencegah ambruknya ekonomi Sudan.
Pemangkasan subsidi makanan dan bahan bakar memicu aksi demonstrasi di Sudan timur yang kemudian merembet hingga ke Khartoum.
Protes yang diserukan oleh Asosiasi Profesional Sudan ini meluas dengan salah satu tuntutan agar Presiden Bashir, yang berkuasa selama 30 tahun, mundur.
Pada 6 April lalu, demonstrasi mencapai puncaknya ketika para peserta aksi menduduki lapangan di depan markas besar angkatan bersenjata dan kementerian pertahanan yang bersebelahan. Komplek dua kantor ini terletak hanya sekitar satu hingga dua kilometer dari kediaman dubes Indonesia di Khartoum.
Para demonstran mendesak presiden dan militer keluar dari pemerintahan.
Lima hari kemudian, militer mengumumkan bahwa Presiden Bhasir telah digulingkan.
Dubes Indonesia di Khartoum, Rossalis Rusman Adenan, mengatakan awalnya kekuasaan dipegang oleh eks menteri pertahanan. Eskalasi berkembang dengan cepat dan Sudah berada di tangan Dewan Transisi Militer (DTM) pimpinan Letnan Jenderal Abdel Fattah Abdelrahman Burhan sejak 11 April.
Naiknya dewan militer tak membuat demonstrasi surut. Mereka terus melanjutkan aksi mendesak peralihan kekuasaan ke pemerintah sipil.
Perundingan antara para jenderal dan penyelenggara protes yang berada di bawah organisasi payung Aliansi untuk Kebebasan dan Perubahan yang awalnya tak memperlihatkan banyak kemajuan pada akhirnya mencapai kesepakatan.
Pada 15 Mei, dewan jenderal dan perwakilan demonstran menyepakati tiga tahun masa transisi menuju pemerintah sipil.
Kedua pihak juga menyepakati struktur pemerintah baru, termasuk dewan kedaulatan, kabinet dan lembaga legislatif. Namun para jenderal membatalkan kesepakatan pada 3 Juni dan menyatakan bahwa akan ada pemilu baru dalam sembilan bulan.
Perkembangan ini diumumkan tak lama setelah aparat keamanan membubarkan pemrotes di Khartoum.
Setelah insiden ini, para pemimpin gerakan prodemokrasi mengatakan semua kontak dengan DTM dibekukan dan menyerukan"pembakangan dan pemogokan besar-besaran.
Perkembangan baru menyebutkan DTM "membuka kembali dialog dengan pihak oposisi".
Dubes Rossalis mengatakan, aparat keamanan membubarkan demonstran karena aksi mereks mengganggu warga dan berdampak negatif terhadap ekonomi.
Dia juga menuturkan banyak di antara pemrotes yang terlihat makan, minum, dan merokok meski aksi ini digelar di bulan puasa. Jatuhnya korban dikecam sejumlah negara.
Organisasi Uni Afrika pada Kamis (6/6) membekukan keanggotaan Sudan sampai terbentuk otorita transisi yang dipimpin kalangan sipil.
Editor : Nathania Riris Michico
http://bit.ly/2WfTmH2
June 07, 2019 at 03:04PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Bentrokan di Sudan: KBRI Tetapkan Status Siaga dan Siapkan 2 Safe House bagi WNI"
Post a Comment